TEORI KLASIK DALAM PRAKTIK PENILAIAN

Foto: Sabrina Eickhoff/Pixabay














Teori  Klasik dalam penilaian atau tes telah dikembangkan sejak lama, sejak awal abad ke-20. Teori ini disebut Teori Tes Klasik. Teori ini muncul sebelum dikembangkannya Item Response Theory atau Teori Respon Butir Soal.

Teori ini paling banyak dipakai dalam penilaian atau tes. Teori Klasik berfungsi dengan baik untuk sebagian besar penilaian atau tes. Alasannya teori ini dapat bekerja dengan baik pada ukuran sampel siswa yang kecil, katakanlah 100 siswa atau kurang.

Teori Klasik merupakan proses menelaah butir soal dalam tes melalui informasi jawaban siswa untuk memperoleh mutu butir soal yang bersangkutan dengan menggunakan Teori Klasik.

Tes Klasik secara umum didasarkan pada gagasan bahwa skor sebagai hasil tes yang diobservasi atau dikenal sebagai observed score terdiri dari skor sebenarnya (true score) dan faktor kesalahan yang tidak dapat diukur secara teoritis yang terjadi secara acak (random). Formulasinya yaitu:

Skor yang Diobservasi (X) = Skor Sebenarnya (T) + Kesalahan Pengukuran (E)

Seperti halnya instrumen pengukuran memiliki beberapa kesalahan dalam praktik pengukuran, begitu pula skor yang dihasilkan dari tes atau penilaian. Katakanlah sebuah termometer akurat hingga 0,1 untuk 9 (sembilan) kali dari 10 (sepuluh) kali pengukuran.

Dalam konteks penilaian atau tes, diandaikan apabila skor yang diobservasi pada ujian  86%, maka skor sebenarnya mungkin hanya pada rentang 80% hingga 90%. 

Teori Klasik digunakan untuk menghitung tingkat kesukaran butir soal dan tingkat daya beda. Apabila dalam tes atau penilaian yang digunakan butir soal pilihan ganda, maka efektivitas pengecoh dimasukkan menjadi indikator tambahan.

Kelebihan teori ini dalam penilaian atau tes yaitu mudah dilaksanakan, sederhana, dan dapat menggunakan sampel siswa yang ukuranya kecil. Bahkan apabila analisisnya menggunakan software komputer, Teori Klasik mudah diterapkan.

Di sisi lain, Teori Klasik memiliki kelemahan. Kelemahannya terletak pada saling ketergantungan antara siswa yang menjadi peserta tes dan tingkat kesulitan butir soal. Maksudnya, butir soal dikatakan mudah apabila siswa termasuk dalam kelompok siswa yang pandai, sedangkan butir soal dikatakan sulit apabila siswa masuk dalam kategori kurang pandai.

Kekurangan lain, ketiadaan teori yang menjadi dasar untuk menentukan bagaimana siswa memperoleh  tes yang sesuai dengan kemampuan siswa. Tambahan lain, tingkat kesulitan dan tingkat daya beda tergantung pada sampel siswa yang diobservasi. 

Comments