KKM YANG TINGGI TIDAK SAMA DENGAN STANDAR YANG TINGGI

Perubahan kurikulum di Indonesia membawa perubahan terhadap cara guru mengajarkan konten pembelajaran dan melakukan penilaian. Aspek pembelajaran tidak hanya melulu membidik pada keberhasilan siswa menguasai pengetahuan atau mengembangkan aspek kognitif, melainkan juga pada aspek keterampilan dan pengembangkan karakter yang baik.

Landasan filosofis dan pendekatan pembelajarannya yaitu melalui pembelajaran tuntas (mastery learning). Pembelajaran tuntas yaitu usaha pendidikan yang tujuannya memotivasi siswa mencapai penguasaan (mastery level) terhadap kompetensi tertentu. Pendekatan pembelajaran tuntas menyatakan bahwa jika setiap siswa diberikan pengajaran dan waktu pembelajaran yang sesuai dengan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tingkat penguasaan tertentu, maka siswa memiliki kesempatan untuk meraih tingkat penguasaan kompetensi tertentu.


Jika kita berbicara tentang rendahnya prestasi pembelajaran bahkan berbicara belum terwujudnya keterampilan proses dan pembelajaran yang menekankan peran aktif siswa, inti persoalannya terletak pada masalah apa yang disebut “ketuntasan belajar” yaitu mencapai taraf penguasaan minimal yang ditetapkan bagi setiap kompetensi secara individual, untuk setiap siswa. Masalah ketuntasan belajar menjadi masalah yang penting karena hal ini menyangkut perkembangan pembelajaran siswa, masa depan siswa, terutama bagi siswa yang mengalami kesulitan pembelajaran.

Gambar: https://eds113mruthdelacruz.files.wordpress.com/2013/04/clip-art-test-taking.jpg

Untuk mendukung pembelajaran tuntas ini, prinsip penilaian kelas menggunakan penilaian acuan kriteria atau patokan. Prinsip ini menyatakan bahwa guru harus menggunakan kriteria atau patokan tertentu dalam menentukan tingkat penguasaan siswa terhadap kompetensi tertentu. Kriteria atau patokan terendah untuk menyatakan bahwa siswa mencapai ketuntasan dinamakan kriteria ketuntasan minimal (KKM).

Pada kurikulum 2006, diatur bahwa  angka KKM secara nasional sebesar 75. Pada kurikulum 2013 berbeda lagi; kriteria ketuntasan minimal ditetapkan sebesar 60. Penetapan KKM menjadi angka atau skor pembatas untuk memilah antara siswa yang tidak tuntas dan siswa yang tuntas pada kompetensi tertentu. Sekolah dan guru boleh menetapkan KKM di atas patokan yang ditetapkan secara nasional dengan memperhatikan kondisi siswa, ketersediaan sarana dan prasarana belajar, kondisi daerah, dan lain-lain.


Apabila seorang guru menetapkan KKM sebesar 75 untuk mata pelajaran pada jenjang pendidikan dan kelas, angka tersebut dibaca atau diinterpretasikan bahwa siswa harus menguasai minimal 75 persen dari konten pembelajaran untuk dinyatakan memiliki ketuntasan atau penguasaan terhadap kompetensi tertentu.


Pada umumnya, para guru berasumsi bahwa angka KKM yang tinggi berarti bahwa standar untuk mencapai ketuntasan lebih ketat dan memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap kemampuan siswa. Katakanlah KKM sebesar 80 pada mata pelajaran Matematika dipandang lebih ketat dibandingkan KKM sebesar 70 pada mata pelajaran Ilmu Sosial atau Bahasa. Alasan ini digunaka untuk mendukung pendapat bahwa menaikkan angka KKM merupakan cara untuk meningkatkan standar dan ekspektasi kemampuan siswa. 

Pendapat semacam ini tentu terlalu menyederhanakan persoalan. Menetapkan angka KKM untuk penilaian dan untuk menentukan nilai siswa merupakan keputusan arbitrer yang hanya sedikit mengungkap tentang standar atau ekspektasi terhadap pencapaian atau prestasi pembelajaran siswa. Padahal yang seharusnya lebih diperhatikan yaitu menyangkut tingkat kesulitan pada pertanyaan atau tugas dalam penilaian yang merefleksikan tingkat kompleksitas kognitif untuk menjawab pertanyaan atau menyelesaikan tugas.

Penetapan KKM merepresentasikan tingkat kemampuan yang dinyatakan pada tingkat kesulitan dan kompleksitas pada pertanyaan atau tugas akan berbeda halnya dengan penetapan KKM yang dinilai menggunakan pertanyaan atau tugas yang lebih sederhana. Hal ini bermakna bahwa desain pertanyaan atau tugas untuk menilai ketercapaian kompetensi  dapat berbeda-beda atau bervariasi pada kerumitannya maupun kompleksitas kognitifnya untuk menilai ketercapaian KKM yang nantinya akan merefleksikan pencapaian tingkat kompetensi siswa.


Katakanlah saya seorang guru mata pelajaran Sejarah. Saya akan menilai kemampuan siswa saya yang sudah mempelajari tentang Perang Diponegoro. Untuk menilai kompetensi siswa, katakanlah saya hendak menilai pengetahuan faktual tentang tokoh-tokoh dalam Perang Diponegoro. Di dalam soal ulangan atau ujian, saya membuat pertanyaan jawaban singkat atau melengkapi. Pertanyaannya sebagai berikut:


Contoh 1:


Siapakah nama tokoh dalam perang Diponegoro yang pertama kali ditawan oleh pasukan Belanda?



Barangkali hanya sedikit siswa yang sudah belajar tentang Perang Diponegoro yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Katakanlah hanya sebanyak 20 persen siswa dari seluruh siswa yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Pertanyaan di atas tingkat kesulitannya lebih tinggi, karena siswa-siswa barangkali hanya mengetahui bahwa Pangeran Dipenogoro –lah yang ditawan oleh pasukan Belanda. Tokoh dalam Perang Diponegoro yang pertama kali ditawan pasukan Belanda, banyak siswa yang tidak mengetahui. Itu berarti siswa harus memiliki pengetahuan faktual yang lebih baik tentang tokoh-tokoh dalam Perang Diponegoro dan kapan mereka tertawan oleh pasukan Belanda.

Nah sekarang, bandingkan apabila saya menilainya menggunakan pertanyaan pilihan ganda. Desain pertanyaannya sebagai berikut:


Contoh 2:

Siapakah nama tokoh dalam perang Diponegoro yang pertama kali ditawan oleh pasukan Belanda?

A. Alibasah Sentot Prawirodirjo


B. Kyai Mojo


C. Pangeran Mangkubumi


D. Pangeran Diponegoro



Pertanyaan di atas cukup sulit bagi sebagian besar siswa. Pilihan jawaban yang tersedia semuanya menunjuk pada tokoh-tokoh Perang Diponegoro. Meskipun pertanyaan yang disajikan dalam bentuk pilihan ganda, mungkin hanya sekitar 30 persen siswa yang mengerjakannya yang dapat menjawab dengan benar. Tentu saja apabila semua siswa memilih jawaban secara acak, hanya sekitar 25 persen siswa yang memilih jawaban yang benar.

Mari kita lihat pertanyaan pilihan ganda yang berikutnya. Saya membuat pertanyaannya menjadi sebagai berikut.


Contoh 3:


Siapakah nama tokoh dalam perang Diponegoro yang pertama kali ditawan oleh pasukan Belanda?

A. Imam Bonjol


B. Kyai Mojo


C. Tuanku Tambusai


D. Patih Danurejo



Sekarang untuk mengidentifikasi jawaban yang benar pada pertanyaan di atas menjadi lebih mudah. Siswa lebih mudah menjawab pertanyaan yang ketiga dibandingkan pertanyaan yang kedua apalagi dengan pertanyaan pertama. Siswa-siswa akan mudah mengetahui jawabannya, sebab pilihan jawaban hanya satu yang menunjuk pada tokoh dalam Perang Diponegoro, sedangkan yang lainnya bukan. Saya pun bisa memprediksi bahwa sekitar 60 persen dari siswa mampu menjawab dengan benar. Akan tetapi kita masih punya asumsi bahwa ada siswa yang masih tidak dapat mengidentifikasi jawaban yag benar memiliki penguasaan pengetahuan faktual yang sangat terbatas terhadap Perang Diponegoro.



Inti yang hendak saya katakan di sini berdasarkan tiga contoh pertanyaan di atas yaitu bahwa masing-masing pertanyaan menilai kompetensi yang sama, tujuan pembelajaran yang sama, atau target pembelajaran yang sama, tetapi masing-masing memiliki variasi pada tingkat kesulitan dan tingkat kompleksitas kognitifnya. Ketiga pertanyaan di atas menyajikan tantangan yang berbeda untuk siswa dan skor yang diperoleh pasti akan juga berbeda-beda. Nah pertanyaannya, apakah fair untuk menetapkan KKM yang sama (katakanlah sama-sama sebesar 75) untuk menilai kecakapan yang sama pada ketiga contoh pertanyaan di atas?


Kalau kita hanya fokus pada angka KKM yang benar sebagai pemisah antara siswa yang "tuntas" dan "tidak tuntas" memang dapat menyesatkan karena pertanyaan pada tes atau penilaian desainnya bervariasi. Pertanyaan yang pertama yang disajikan pada contoh di atas merupakan pertanyaan yang menantang, lebih rumit, dan kompleksitasnya lebih tinggi meskipun hanya menilai pengetahuan faktual. Meskipun jumlah siswa yang dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan benar jumlahnya lebih sedikit (yang tuntas lebih sedikit) pertanyaan tersebut memiliki standar pencapaian yang tinggi. 

Bandingkan dengan pertanyaan kedua dan pertanyaan ketiga. Apabila saya menetapkan KKM sebesar 75 yang dinilai pencapaiannya dengan pertanyaan yang ketiga, maka pertanyaan tersebut tidak merefleksikan standar yang sepadan dengan KKM yang ditetapkan; dibandingkan dengan menilainya dengan menggunakan pertanyaan pertama atau pertanyaan yang kedua.


Apabila kita memberikan solusi untuk mengatasi masalah tersebut hanya dengan memeriksa kualitas pertanyaan atau tugas yang digunakan untu menilainya, cara tersebut pun masih kurang bermakna. Pendekatan yang lebih bermakna yaitu berdasarkan judgement guru terhadap konsep yang perlu dikuasai siswa (berkaitan dengan topik pembelajaran) dan meninjau proses kognitif yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan atau menyelesaikan tugas.  

Seharusnya guru pun menggeser cara pandang ketika menetapkan KKM dan juga penerapannya untuk memberikan nilai sehingga nilai yang diperoleh dari penilaian kelas dan demonstrasi pencapaian pembelajaran siswa lainnya benar-benar mencerminkan kualitas kemampuan siswa berpikir, bukan hanya sekedar fokus pada pencapaian KKM-nya atau skor yang diperoleh dari penilaian.


Jarang sekali pemikiran dan pertimbangan semacam ini digunakan dalam menetapkan KKM. Padahal menentukan KKM juga mempengaruhi dan menentukan kinerja pembelajaran siswa atau untuk memberikan nilai kepada siswa. Bahkan dalam penilaian yang lingkupnya lebih tinggi seperti ujian sekolah atau ujian nasional di mana konsekuensinya atau dampaknya sangat besar bagi siswa, cara pandang semacam itu jarang digunakan.
Gambar: http://cliparts.co/cliparts/gTe/oGA/gTeoGAxTd.gif

Yang lebih kompleks lagi, pada kenyataannya bahwa tantangan atau kendala semacam itu juga berkaitan dengan kualitas pengajaran dan pembelajaran. Siswa yang diajar dengan baik dan memiliki kesempatan yang cukup untuk berlatih serta menunjukkan apa yang telah mereka pelajari cenderung mampu menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas daripada siswa yang diajar dengan tidak memadai dan tidak memiliki kesempatan untuk berlatih. Oleh karena itu, seorang guru yang menentukan KKM katakanlah 80; seorang siswa akan dapat mencapai angkat KKM tersebut setelah memperoleh pengajaran yang baik. Berbeda halnya dengan seorang guru yang menetapkan KKM sebesar 70; angka ini akan sulit dicapai oleh siswa yang diajar dengan cara yang kurang atau malah tidak baik oleh gurunya.


Ketika saya membicarakan hal ini bukan berarti KKM tidak penting. KKM tetaplah penting dan sangat dibutuhkan untuk penilaian belajar siswa. Akan tetapi penetapan KKM merupakan proses yang lebih kompleks. Menaikkan standar atau ekspektasi terhadap pencapaian pembelajaran tidak dicapai hanya dengan menaikkan angka KKM. Menaikkan standar membutuhkan pemeriksaan secara tepat terhadap pertanyaan atau tugas yang digunakan untuk penilaian yang benar-benar dapat menunjukkan pembelajaran siswa. D

i samping itu, hal ini juga menyangkut kualitas pengajaran guru dan pembelajarans iswa sebelum penilaian itu dilakukan. Hanya saja ketika keputusan tentang KKM merupakan bagian rutin dari pekerjaan guru dan juga proses penilaian yang akan dilakukan, guru pun seharusnya membuat keputusan yang akurat dan valid tentang kualitas kinerja pembelajaran atau tingkat kompetensi siswa.